Breaking News

Vonis Mati Eks Kasat Narkoba Polresta Barelang, Momentum Reformasi Internal Polri.

 


Barelang, Radar Jakarta News.com.

Vonis mati yang dijatuhkan kepada Kompol Satria Nanda dan sebelumnya Irjen Pol. Teddy Minahasa dihukum seumur hidup dalam kasus penyalahgunaan narkotika sebagai momentum penting reformasi Polri.

Vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau kepada mantan Kasat Reskrim Narkoba Polresta Barelang, Kompol Satria Nanda, mendapat sorotan anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez. Putusan tingkat banding itu memperkuat putusan Pengadilan Negeri Batam yang menghukum seumur hidup.

Gilang mengatakan, vonis mati itu menjadi ujian besar institusi penegak hukum. Terutama Polri. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika harus dilakukan tanpa pandang bulu. Dia mendorong vonis tersebut harus menjadi momentum reformasi di internal Polri, bukan sekedar panggung penegakan hukum. 

"Jika hanya berhenti pada hukuman terhadap individu, sementara akar masalah seperti lemahnya pengawasan internal dan potensi kolusi dibiarkan, maka risiko kasus serupa akan tetap besar," ujarnya, Kamis (14/8/2025).

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mendorong Polri memperkuat Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta meningkatkan pengawasan eksternal yang melibatkan lembaga independen. Langkah tersebut penting agar publik melihat penegakan hukum tak sekedar memotong ranting, tapi mencabut akar praktik mafia penyalahgunaan narkotika di Kepolisian.

Baginya ada perbedaan vonis yang diterima Satria Nanda dan Irjen Pol. Teddy Minahasa dalam kasus serupa. Selain itu UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) membuka ruang konversi hukuman mati menjadi pidana seumur hidup jika terpidana menunjukan perilaku baik selama masa tunggu eksekusi. Ketentuan konversi itu menurut Gilang harus dibeberkan teknisnya secara ketat sehingga tidak menjadi celah pengurangan hukuman yang bersifat politis atau transaksional. Termasuk perlunya harmonisasi UU yang mengatur narkotika, pidana mati, dan tindakan pidana pencucian uang (TPPU).

"Vonis berat tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memutus aliran dana ilegal yang menopang jaringan kejahatan," ujarnya.

Kasus Satria Nanda membuka babak baru dalam penanganan kejahatan narkotika di Indonesia. Gilang menyebut, kasus ini tidak hanya mencerminkan penyalahgunaan, tapi mengindikasikan adanya TPPU yang dilakukan melalui penyalahgunaan barang bukti narkotika.

"Maka negara harus memanfaatkan secara maksimal pasal - pasal TPPU untuk melacak, membekukan, dan menyita aset yang diduga berasal dari hasil kejahatan. Aset - aset tersebut, baik berupa rekening properti, kendaraan, maupun investasi tersembunyi, harus dijadikan target utama penegakan hukum," tambahnya.

Beberapa langkah itu diharapkan memberi efek jera bagi pelaku dan kelompoknya. Selain itu memutus sumber daya finansial yang memungkinkan jaringan narkotika tetap beroperasi bahkan dari balik penjara. Peningkatan koordinasi strategis antara kepolisian, pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dan Kejaksaan penting dilakukan. Kolaborasi lintas institusi itu mempercepat proses penelusuran dan pembuktian aliran dana ilegal, sekaligus memastikan prosesnya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. 

"Perang melawan narkotika tidak boleh berhenti pada penangkapan individu, tetapi harus meruntuhkan ekosistem keuangan gelap yang selama ini menjadi urat nadi bisnis haram tersebut. Dengan langkah terukur, penegakan hukum tidak hanya berfokus pada pelaku di lapangan, tetapi juga menyasar aktor - aktor di balik layar yang mengendalikan perputaran uang hasil kejahatan," timpalnya.

Sebelumnya, Direktur Hukum BNN, Toton Rasyid, mengatakan, penyidik BNN berpotensi terdampak ketentuan yang diatur dalam regulasi lain. Misalnya, UU 1/2023 mengatur 5 tindak pidana khusus mencakup pelanggaran HAM berat, terorisme, narkotika, korupsi, dan pencucian uang. 

Rancangan Undang - Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengatur penyidik terdiri dari penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan penyidik tertentu. Penyidik Polri diposisikan sebagai penyidik utama yang berwenang melakukan penyidikan terhadap semua jenis tindak pidana. PPNS dan penyidik tertentu wajib berkoordinasi dengan penyidik Polri sampai penyerahan berkas perkara ke penuntut umum. Tapi, ketentuan koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri itu dikecualikan bagi penyidik Kejaksaan, komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Toton menilai ketentuan itu luput mengatur peran penyidik BNN dalam melakukan penyidikan kasus narkotika harus berkoordinasi dengan penyidik Polri.

"Apakah adil tindak pidana khusus diberi kewenangan dalam KUHP, tapi dalam RUU KUHAP penyidik BNN tidak disebut spesifik sebagai penyidik tertentu? Ini dampaknya signifikan," kata Toton usai audiensi hukumonline di Kantor BNN, Selasa (12/8/2025).

Jika penyidik BNN tidak dikecualikan dari koordinasi dan pengawasan penyidik Polri, Toton melihat ke depan setiap rencana penangkapan yang dilakukan penyidik BNN harus berkoordinasi dulu dengan penyidik Polri. Begitu pula penahanan dan sebelum melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Toton sudah menyampaikan aspirasi ini kepada anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan Biro Pemberitaan DPR dalam forum legislasi (Foreleg) di Kompleks MPR/DPR beberapa waktu lalu. 

Diharapkan hal ini menjadi perhatian Komisi III DPR dalam membahas RUU KUHAP.


Apa kata Allex: 

Apa saja hukuman atau sanksi bagi penyalahgunaan narkotika? Hukuman atau sanksi bagi penyalahgunaan narkotika diatur UU No.35 Tahun 2009 tentang narkotika yang meliputi sedikitnya 3 poin.


Pertama, sanksi pidana untuk penyalahgunaan narkotika. Setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (penyalah guna) diancam pidana penjara sesuai dengan golongan narkotika yang disalahgunakan, sebagaimana diatur dalam pasal 127 ayat (1) UU narkotika.

Penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 4 tahun. Penyalahguna narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 2 tahun. Penyalahguna narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 1 tahun.

Dalam memutus perkara penyalahgunaan narkotika, hakim wajib memperhatikan ketentuan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103 UU Narkotika, sesuai pasal 127 ayat (2) UU narkotika. Jika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur dalam pasal 127 ayat (3) UU Narkotika.

Kedua, sanksi administratif dan kewajiban lain. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,-00, sebagaimana diatur dalam pasal 134 ayat (1) UU Narkotika. Keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu tersebut dipidana dengan pidana Kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,- 00, sesuai pasal 134 ayat (2) UU Narkotika.

Ketiga, kualifikasi dan penentuan sanksi. Penentuan sanksi pidana bagi penyalahguna narkotika juga mempertimbangkan hasil pemeriksaan Laboratorim Forensik, sebagai pengguna terakhir (end user), serta jumlah barang bukti yang tidak melebihi pemakaian suatu hari, sebagaimana diatur dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 11 Tahun 2021 Bab IV angka 10 dan 11.


Reporter: Andi Razak BW/redaksi.

Tidak ada komentar